Siap Tidak Siap Harus Siap –
INDONESIA MENUJU ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) 2015
Tahun
2015 dapat menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perkembangan ekonomi
Indonesia. Bagaimana tidak? ASEAN, organisasi regional yang menyatukan
negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini mengumumkan bahwa Asean Economic
Community (AEC) akan diberlakukan pada tahun 2015.
Jadi
sebenarnya apa itu AEC? Mengapa keberadaanya mampu mempengaruhi kondisi
perekonomian Indonesia? Inti dari AEC adalah membuka luas pasar arus
ekspor-import barang dan jasa ataupun investasi antarnegara ASEAN dimana
permasalahan tarif dan non tarif sudah tidak diberlakukan kembali. Dengan
diberikannya kemudahan untuk bertransaksi antar negara di Asia Tenggara,
diyakini dapat menjadi peluang ataupun tantangan bagi perekenonomian masyarakat
Indonesia.
Pada
tahun 2015 mendatang Indonensia dihadapkan dengan adanya ASEAN Economic
Community (AEC), sehingga Masyarakat Indonesia harus siap menghadapinya karena
sistem pasar bebas akan memasuki Negara Indonesia, dimana persaingan bisnis
bukan hanya diantara Masyarakat Indonesia tetapi juga sesama Masyarakat di
wilayah ASEAN.
Asean Economic Community (AEC) merupakan kesepakatan yang dibangun oleh sepuluh negara anggota ASEAN. Terutama di bidang ekonomi dalam upaya meningkatkan perekonomian di kawasan dengan meningkatkan daya saing di kancah internasional agar ekonomi bisa tumbuh merata, juga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan yang paling utama adalah mengurangi kemiskinan.
Asean Economic Community (AEC) merupakan kesepakatan yang dibangun oleh sepuluh negara anggota ASEAN. Terutama di bidang ekonomi dalam upaya meningkatkan perekonomian di kawasan dengan meningkatkan daya saing di kancah internasional agar ekonomi bisa tumbuh merata, juga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan yang paling utama adalah mengurangi kemiskinan.
AEC
merupakan realisasi dari Visi ASEAN 2020 yaitu untuk melakukan integrasi
terhadap ekonomi negara-negara ASEAN dengan membentuk pasar tunggal dan basis
produksi bersama. Menurut Prof Hermanto Siregar terdapat beberapa konsep dalam
AEC yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Political Security Community, dan
ASEAN Socio-Culture Community.
Ketiga
hal tersebut akan direalisasikan di antara negara-negara anggota ASEAN secara
bertahap. Untuk langkah pertama yang akan direalisasikan adalah AEC pada 2015
mendatang, setidaknya terdapat 5 hal yang akan diimplementasikan yaitu arus
bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan arus
bebas tenaga kerja terampil.
Pada
2015 di antara 10 Negara ASEAN yang terdiri dari Indonesia, Myanmar, Thailand,
Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Philipina, Laos, dan Kamboja, dan
Vietnam harus membebaskan 5 hal di atas untuk menerapkan aturan dari
kesepakatan tersebut. Sebelumnya pada 2004, Indonesia bersama ASEAN telah
menyepakati perjanjian dengan China yang dikenal sebagai ASEAN-China Free Trade
Agreement (ACFTA). Dengan perjanjian itu, negara-negara ASEAN dan China harus
membebaskan barang-barang masuk.
Dalam
pelaksanaan AEC, negara-negara ASEAN harus memegang teguh prinsip pasar terbuka
dan ekonomi yang digerakkan oleh pasar. Dengan kata lain, konsekuensi
diberlakukannya AEC adalah liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan tenaga
terampil secara bebas dan tanpa hambatan tarif dan nontarif.
Rencana
pemberlakuan AEC tersebut dicantumkan dalam Piagam ASEAN yang disahkan pada
2007. Pada tahun tersebut pula disepakati bahwa pencapaian AEC akan dipercepat
dari 2020 menjadi 2015. Pengesahan AEC sendiri dicantumkan pada pasal 1 ayat 5
Piagam ASEAN dan diperkuat dengan pembentukan Dewan Area Perdagangan Bebas
ASEAN (ASEAN Free Trade Council) yang tercantum dalam lampiran I Piagam ASEAN.
Itulah dasar hukum yang mengesahkan terbentuknya ASEAN Economic Community.
Kesiapan
Indonesia dalam menghadapi AEC 2015, antara peluang dan ancaman. Siap atau
tidak siap sudah tidak perlu diperdebatkan lagi karena AEC sudah menjadi
keputusan dan ketetapan politik yang harus dihadapi semua negara ASEAN.
Jika
dilihat dari beberapa data tentang kondisi Indonesia dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya, dalam banyak hal Indonesia kalah oleh Thailand dan Philipina,
apalagi Brunei, Malaysia, dan Singapura masih tertinggal jauh. Indonesia hanya
menang dari luas negara yang begitu besar, jumlah penduduk yang banyak, dan
sumberdaya yang melimpah.
Setelah
diberlakukannya AEC, Indonesia akan “diserbu” barang, jasa, investasi, modal
dan tenaga kerja terampil dari negara ASEAN lainnya sehingga hal ini akan
menjadi ancaman yang serius. Atau sebaliknya Indonesia dapat “menyerbu” negara
ASEAN lainnya dengan barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil sehingga
hal ini menjadi peluang yang besar bagi kita.
Beberapa
solusi yang ditawarkan untuk menghadapi AEC 2015 di antaranya adalah :
1.
Mengubah ‘mindset’ konsumtif menjadi
produktif sehingga kita bisa mengurangi pengeluaran dan memperbesar pemasukan
bagi negara kita.
2.
Meningkatkan ‘Competitiveness’
produk yang akan berpengaruh pada ketertarikan konsumen akan produk yang kita
hasilkan dengan kualitas terjamin dan harga yang terjangkau.
3.
Diversifikasi dan peningkatan nilai
tambah bahan baku dari sumber daya alam yang melimpah menjadi produk
berorientasi ekspor.
4.
‘Competitiveness’ sumber daya
manusia karena kunci dari kemajuan bangsa adalah bukan karena kekayaan alamnya
melainkan SDM yang ada di dalamnya.
5.
Mempersiapkan lulusan perguruan
tinggi yang mampu berkompetisi minimal di tingkat ASEAN (kedepan semua profesi
harus memiliki sertifikasi tingkat ASEAN) dan tiap tenaga profesional memiliki
semangat yang tinggi.
6.
Mengubah ‘mindset’ pegawai menjadi
entrepreneur (pengusaha) sehingga diharapkan akan muncul pengusaha-pengusaha
baru yang dapat menciptakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan masyarakat
indonesia secara mandiri sehingga tidak bergantung terhadap negara lain.
Sepuluh
pilar visi ASEAN Community tersebut adalah
1.
outward looking,
2.
economic integration,
3.
harmonious environment,
4.
prosperity,
5.
caring societies,
6.
common regional identity,
7.
living in peace,
8.
stability,
9.
democratic, dan
10.
shared cultural heritage
(Kementerian Luar Negeri, 2014).
Dapat
dikatakan bahwa Indonesia adalah inisiator dari terbentuk integrasi kawasan
ASEAN. Hanya, perjalanan setiap negara dalam mempersiapkan diri untuk
menghadapi ASEAN yang terintegrasi ini berbeda- beda. Ada negara yang dengan
cepat bisa mempersiapkan diri, namun ada juga negara yang terlambat.
Karakteristik, ukuran ekonomi, dan permasalahan yang dihadapi setiap negara
yang berbeda juga turut memengaruhi kecepatan setiap negara dalam mempersiapkan
diri menghadap MEA 2015. Singapura adalah negara ASEAN yang dapat dikatakan
paling siap menghadapi MEA 2015. Meski tidak yang paling tertinggal, Indonesia
masih perlu kerja ekstra untuk menghadapi MEA 2015 ini. Ini mengingat dalam
beberapa hal strategis, Indonesia relatif tertinggal.
A.
Daya Saing vs Infrastruktur
Bukan bermaksud untuk mencari alasan di balik ketertinggalan
tersebut, ukuran ekonomi Indonesia yang besar bisa jadi memang salah satu
penyebabnya. Indonesia negara terbesar di ASEAN, baik dari segi kewilayahan,
jumlah penduduk, maupun ukuran ekonominya. Sayangnya, dalam kualitas, terutama
daya saing, Indonesia tertinggal cukup jauh dibanding Singapura, Malaysia, dan
Thailand. Beberapa studi mengonfirmasikan terkait ketertinggalan Indonesia ini.
Studi Bank Dunia (2013) menyebutkan, daya saing produk
ekspor Indonesia relatif tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain,
terutama kaitannya dengan nilai tambah produk ekspor kita. Komposisi ekspor
kita terbesar didominasi komoditas (resource based) dan barang primer (primary
product).
Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia rentan dengan
gejolak harga. Hal ini pula yang saat ini kita rasakan, ekspor kita melemah
akibat pelemahan perekonomian dunia yang menyebabkan harga komoditas dunia juga
ikut menurun. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, sebagian besar
ekspornya didominasi oleh produk-produk yang telah disentuh teknologi (medium
and high tech product). Kondisi infrastruktur kita juga relatif tertinggal.
Infrastruktur logistik kita misalnya berdasarkan Logistics Performance Index
(LPI) 2012 yang dikeluarkan Bank Dunia, Indonesia hanya menduduki peringkat
ke-59 atau jauh di bawah Singapura yang berada di puncak di antara 155 negara
yang disurvei. Posisi dan daya saing industri logistik Indonesia bahkan kalah
dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina dan hanya unggul terhadap
Myanmar dan Kamboja. Indonesia pasar ekonomi yang besar. Kelas menengah
Indonesia semakin bertambah. PDB per kapita Indonesia sudah mendekati USD5.000,
yang berarti daya beli masyarakat kita yang cukup tinggi. Tingginya daya beli
ini akan menjadi bumerang bagi ”neraca ekonomi” kita bila daya saing dan
kesiapan infrastruktur kita tidak segera dibenahi dalam menghadapi MEA 2015
ini. Ekspor kita menjadi kurang bersaing karena nilai tambahnya rendah. Di sisi
lain, Indonesia akan menjadi pasar barang dan jasa impor yang empuk, sementara
nilai tambah dari barang dan jasa impor tersebut bagi kita sangat kecil. Saat
ini dampak dari rendahnya daya saing kita tersebut sudah terasa. Sejak 2012
neraca perdagangan kita telah defisit. Sementara neraca jasa kita sejak dulu
tidak mengalami perbaikan, dalam arti selalu defisit. Tingginya pertumbuhan
ekonomi yang dialami Indonesia dalam satu dekade ini menyebabkan demand masyarakat
kita meningkat. Sayangnya, karena lemah struktur industri kita, demand
masyarakat tersebut tidak bisa dipenuhi industri domestik, melainkan harus
diimpor. Ketika ekspor booming, kita juga tidak bisa memaksimalkan nilai
tambahnya. Ekspor komoditas dan barang primer harus diangkut melalui pelabuhan
dan menggunakan kapal. Sayangnya, karena ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan
dan kapal kita, terpaksa ekspor tersebut harus dilakukan di pelabuhan negara
tetangga dan diangkut dengan kapal berbendera asing. Tidak hanya itu, asuransi
angkutannya pun harus dengan perusahaan asuransi asing sehingga neraca jasa
kita mengalami defisit. Indonesia negara dengan penduduk yang besar. Kebutuhan
energinya juga besar seiring pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Pada 2012 kebutuhan
minyak kita mencapai 73 juta ton, terbesar kelima di Asia. Sayangnya, karena
kapasitas infrastruktur kilang minyak yang tidak cukup, setiap tahun impor BBM
kita terus meningkat. Indonesia kini telah menjadi importir premium (gasoline)
terbesar di dunia. Sekitar 30 persen kebutuhan BBM domestik harus dipenuhi dari
impor. Negara yang memiliki infrastruktur kilang minyak diuntungkan dengan
posisi Indonesia ini. Siapa itu? Salah satunya Singapura karena memiliki kilang
minyak dengan kapasitas yang besar sehingga bisa mengekspor BBM-nya, termasuk
ke Indonesia.
Sepertinya Indonesia harus memiliki kebijakan yang agak
revolusioner untuk mengubah kondisi yang akut ini. Kebijakan fiskal kita harus
berubah, dari yang terlalu costly ke operasional dan subsidi BBM untuk
dialihkan ke anggaran investasi, infrastruktur, dan penguatan industri
manufaktur. Tanpa langkah-langkah seperti ini, rasanya sulit kita bisa mengejar
ketertinggalan daya saing kita. Di sisi lain, kebijakan sektoral juga harus
memperlihatkan kesungguhannya untuk memperkuat daya saing industri nasional
kita. MEA 2015 tinggal sebentar lagi. Sebenarnya sudah terlambat cukup jauh
untuk mengatasi ketertinggalan dalam menghadapi MEA 2015. Namun, lebih baik
terlambat dibanding kita melakukan perubahan. Mudah-mudahan, momentum Pemilu
2014 ini bisa menghasilkan pemerintahan baru yang serius dalam mengejar
ketertinggalan
tersebut.
tersebut.
B.
MENGUNTUNGKAN ATAU DI UNTUNGKAN
INDONESIA
Perjanjian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)/perdagangan
bebas ASEAN-Cina terbukti merugikan Indonesia. Sepanjang 2014 saja, defisit
perdagangan RI-Cina sudah mencapai US$ 1,5 miliar (16,9 triliun). Padahal,
tujuan Indonesia menandatangani ACFTA adalah agar produk-produk kita bisa lebih
mudah masuk ke Cina, negara berpenduduk terbanyak di dunia. Namun yang terjadi
justru sebaliknya. Indonesia malah menjadi pasar baru buat produk-produk Cina.
Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dipercepat menjadi 2015. Namun,
hanya negara-negara berdaya saing tinggi yang diuntungkan seperti Singapura,
Malaysia dan Thailand.
Guru besar ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika mengatakan, sebelum dicanangkan pada 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) menguntungkan Indonesia, Malaysia, Thailand dan Singapura. Sebab, selama 2007-2010, perdagangan Indonesia selalu surplus dan meningkat ke negara-negara ASEAN. Lihat saja, menurut Erani, pada 2010, RI surplus US$3,5 miliar. Padahal, pada 2005-2006, RI masih defisit. RI bisa surplus karena memiliki komoditas perkebunan yang besar, kelautan, elektronik, tekstil dan lain-lain. “Tapi, semua itu merupakan industri-industri yang sudah mulai terbenam
Guru besar ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika mengatakan, sebelum dicanangkan pada 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) menguntungkan Indonesia, Malaysia, Thailand dan Singapura. Sebab, selama 2007-2010, perdagangan Indonesia selalu surplus dan meningkat ke negara-negara ASEAN. Lihat saja, menurut Erani, pada 2010, RI surplus US$3,5 miliar. Padahal, pada 2005-2006, RI masih defisit. RI bisa surplus karena memiliki komoditas perkebunan yang besar, kelautan, elektronik, tekstil dan lain-lain. “Tapi, semua itu merupakan industri-industri yang sudah mulai terbenam
Perdagangan di sektor-sektor tersebut akan menurun secara
bertahap. Jika tidak direvitalisasi, sektor-sektor tersebut akan bermasalah.
“Karena itu, Indonesia bisa jadi negara yang dirugikan ke depannya setelah
dicanangkan MEA pada 2015. Sebab, negara ASEAN yang lain seperti Vietnam,
Filipina dan lain-lain akan menyalip Indonesia,” ujarnya. Karena itu, yang
terpenting adalah bagaimana menyelesaikan masalah yang mengganggu ekonomi
domestik. Menurutnya, Indonesia harus memperkuat sektor pertanian dan industri.
“Sebab, kedua sektor tersebut justru mengalami pelemahan dari tahun ke tahun,”
ucapnya. Jika tidak mengalami perbaikan yang berarti, Indonesia akan sulit
bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hingga 2015, RI memang bisa
survive dalam kancah ASEAN. Tapi setelah itu, RI akan mengalami banyak masalah
jika tidak mengalami perbaikan-perbaikan. “Yaitu perbaikan iklim investasi,
daya saing, pembangunan infrastruktur, konsistensi kebijakan pemerintah,
pembebasan lahan dan lain-lain,” urainya. Dia menegaskan, negara-negara ASEAN
yang paling baik daya saing ekonominya saat ini adalah Thailand, Singapura dan
Malaysia. Karena itu, negara-negara top three tersebut, paling diuntungkan
dengan adanya masyarakat ekonomi ASEAN.
Indonesia berada pada level menengah bersaing dengan Filipina dan Vietnam. “Negara-negara yang paling dirugikan adalah negara-negara yang daya saingnya rendah sperti Kamboja, Laos, Brunei Darussalam dan Myanmar,” imbuh Erani. Dihubungi terpisah, Chief Economist Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan hal yang sama. Menurutnya, yang paling diuntungkan dari MEA, adalah negera-negara yang paling siap bersaing, efisien dan paling mempersiapkan diri hingga 2015. Menurutnya, jika Indonesia tidak menyiapkan tenaga ahli yang baik, sementara negara lain mengirimkan tenaga ahli ke Indonesia, MEA sangat merugikan. Sebab, Indonesia bisa jadi hanya mengirimkan tenaga yang tidak ahli sehingga dibayar murah.
Indonesia berada pada level menengah bersaing dengan Filipina dan Vietnam. “Negara-negara yang paling dirugikan adalah negara-negara yang daya saingnya rendah sperti Kamboja, Laos, Brunei Darussalam dan Myanmar,” imbuh Erani. Dihubungi terpisah, Chief Economist Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan hal yang sama. Menurutnya, yang paling diuntungkan dari MEA, adalah negera-negara yang paling siap bersaing, efisien dan paling mempersiapkan diri hingga 2015. Menurutnya, jika Indonesia tidak menyiapkan tenaga ahli yang baik, sementara negara lain mengirimkan tenaga ahli ke Indonesia, MEA sangat merugikan. Sebab, Indonesia bisa jadi hanya mengirimkan tenaga yang tidak ahli sehingga dibayar murah.
Di sisi lain, negara-negara ASEAN lain bisa mendapatkan
akses pasar yang jauh lebih besar sedangkan Indonesia tidak. Jika melihat
persiapannya saat ini yang kurang, RI bisa dirugikan dengan terbentuknya masyarakat
ekonomi ASEAN. Memang dari sisi murahnya buruh, RI memiliki comparable
advantage. Tapi, itu merugikan. RI mengirim 1.000 orang, hanya dibayar dengan
10 orang tenaga ahli dari luar ke Indonesia.
Seperti pendapat Erani, Purbaya juga menegaskan, Malaysia,
Thailand dan Singapura yang jelas paling diuntungkan. Singapura memiliki
high-tech yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia baik eloktronik maupun
produk lainnya. RI juga banyak mengipor Bahan Bakar Minyak (BBM) dari
Singapura. “Manajemen dan services Singapura jauh lebih baik,” timpalnya.
Begitu juga dengan Malaysia. Hanya sektor Crude Palm Oil (CPO) negeri Jiran itu
yang bisa dilawan Indonesia. Tapi, dari sisi value added dan high-tech Indonesia
kalah termasuk elekronik.
Daya saing industri Malaysia juga jauh lebih baik karena
baiknya suplai energi di negara itu. Dia menegaskan, Malaysia sudah berpikir
jangka panjang sedangkan Indonesia baru mulai. Pabrik keramik RI kesusahan
mendapatkan gas di dalam negeri. “Malaysia memiliki gas karena sudah kontrak
jangka panjang hingga 30 tahun dari Indonesia,” tukas Purbaya. Sementara itu,
Thailand, lebih siap menyerap investasi asing dibandingkan Indonesia. Thailand
menjadi pusat produksi mobil Jepang, sehingga memiliki multiplier effect ke
industri-industri di bawahnya. “Bahkan, pabriknya di Thailand dan hasilnya
dijual ke Indonesia,” timpal Purbaya. Di atas semua itu, Purbaya
menggarisbawahi, Indonesia juga bisa diuntungkan jika benar-benar bisa
memperbaiki iklim investasi sebelum 2015. “Tapi, berkaca pada perdagangan
bebas, pemerintah dan pengusaha kurang memaksimalkan pasar ASEAN,” paparnya.
Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN
tak signifikan. Kondisinya akan sama, jika Indonesia tak hati-hati dalam
mempersiapkan pencanangan MEA pada 2015. “Orang lain, asyik menggarap pasar RI,
tapi Indonesia lupa menggarap pasar ASEAN. Kalau RI hanya jadi pasar ASEAN MEA
hanya akan merugikan bagi Indonesia,” ungkapnya. Asal tahu saja, keputusan
negara ASEAN untuk membentuk MEA dipercepat. Pada awalnya akan dimulai pada
tahun 2020 menjadi 2015. Percepatan itu menggambarkan tekad ASEAN untuk segera
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing antar sesama negara anggota
ASEAN untuk menghadapi persaingan global.
Dalam kerjasama JIEPA misalnya, akibat minimnya strategi
pengembangan industri hulu, Indonesia justru semakin mengukuhkan posisinya
hanya sebagai penyedia bahan bakubagi industri Jepang. Sebelum JIEPA
diimplemetasikan, Indonesia telah menjadi negara penyuplai komoditas primer
untuk industri manufaktur Jepang. Bahkan tingkat ketergantungan Jepang terhadap
sejumlah komoditas tersebut sangat tinggi seperti nikel (65 persen), karet (56
persen) dan tembaga (54 persen). Dengan JIEPA, ekspor komoditas primer
Indonesia ke Jepang tumbuhanmakin cepat. Pada periode 2003-2007, komposisi
ekspor komoditas primer Indonesia ke Jepang mencapai 74 persen, dan meningkat
menjadi 77 persen pada 2008-2012. Peningkatan ekspor komoditas primer memang
akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, kerjasama JIEPA yang dilakukan tanpa
strategi dan target yang jelas untuk mendorong industrialisasi di Indonesia
akhirnya hanya mempercepat eksploitasi berbagai sumber daya alam. Indonesia
semestinya mampu menyiapkan strategi dan kebijakan untuk mendorong Jepang
membangun industri hulu di Indonesia sehingga memberikan manfaat ekonomi yang
besar baik dari sisi nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, maupun
terbangunnya industri hulu.
ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
akan dimulai pada tahun 2015. Jadwal implementasi ini dipercepat dari rencana
semula tahun 2020. Sesuai cetak biru, Masyarakat Ekonomi ASEAN ditujukan untuk
menciptakan kawasan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal (single regional
market) dan kesatuan basis produksi yang terintegrasi (regional production
base). MEA akan membawa pada liberalisasi ekonomi yang semakin luas di ASEAN,
ditandai dengan peredaran secara bebas tanpa hambatan baik barang, jasa, modal
maupun tenaga kerja. Kesepakatan tersebut tentunya akan membuat tatanan ekonomi
baru di ASEAN dan akan membuka berbagai peluang untuk memperoleh manfaat. Namun
disisi sebaliknya juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi
Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Indonesia akan diuntungkan atau
semakin dirugikan dengan kesepakatan dalam MEA? Mengapa menguntungkan dan
faktor apa saja yang menyebabkan Indonesia berpeluang mendapat keuntungan? Apa
dampak negatifnya dan bagaimana strategi untuk meminimalkan dampak negatifnya?
Tentunya hal ini penting untuk dijawab sebelum Indonesia membuat berbagai kesepakatan
liberalisasi ekonomi yang sampai saat ini bahkan jauh lebih agresif dibanding
negara-negara lain. Data menunjukkan paska liberalisasi ASEAN dalam AFTA, ASEAN
dengan China, maupun kerjasama bilateral lainnya, Indonesia mengalami banyak
kerugian. Dalam kesepakatan ASEAN China FTA dan bilateral dengan Jepang
misalnya, produk impor dari kedua negara tersebut segera membanjiri pasar
Indonesia sehingga terjadi pelebaran defisit neraca perdagangan. Seharusnya hal
tersebut dapat menjadi pengalaman berharga bagi Indonesia dalam berbagai
kesepakatan liberalisasi ekonomi, termasuk MEA.
Pemerintah telah menyatakan bahwa Indonesia sudah 82 persen siap menghadapi MEA.
Pemerintah telah menyatakan bahwa Indonesia sudah 82 persen siap menghadapi MEA.
Namun, klaim persentase kesiapan tersebut ternyata hanya
sebatas check list sejauh mana Indonesia telah menjalankan
kesepakatan-kesepakatanMEA. Padahal untuk memenangkan persaingan di ASEAN yang
makin kompetitif semestinya pemerintah menyiapkan strategi komprehensif yang
menjadi agenda bersama antara pemerintah (Pusat dan Daerah) dengan dunia usaha.
Negara ASEAN lain, Thailand misalnya, telah mempersiapkan strategi komprehensif
untuk meraih peluang saat ASEAN menjadi basis pasar dan produksi. Namun, sampai
saat ini persiapan Indonesia masih minimal. Sosialisasi dilakukan tetapi baru
sekadar“apa itu MEA”, bukan tentang “strategi bersama menghadapi MEA”.
Implementasi MEA memang bukan liberalisasi ekonomi yang
pertama di kawasan ASEAN. Setelah tahun 1992 ASEAN sepakat melakukan AFTA
(Asean Free Trade Agreement ), ASEAN juga membuat berbagai kesepakatan dengan
negara lain seperti India, Jepang dan Korea. Indonesia pun banyak melakukan
liberalisasi ekonomi secara bilateral misal dengan Jepang atau Australia dan
New Zealand. Meskipun implementasi MEA sebenarnya implementasi liberalisasi di
tengah lingkungan ekonomi ASEAN dan ekonomi Indonesia yang sudah cukup liberal,
namun CORE berkeyakinan bahwa implementasi MEA justru sangat penting bagi
Indonesia sebagai momentum untuk menata ulang berbagai kesepakatan liberalisasi
ekonomi yang telah disepakati, agar potensi manfaat yang diperoleh maksimal dan
potensi kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Dari kajian awal ini CORE
berkesimpulan paling tidak ada empat isu penting yang perlu kerja keras untuk
segera diantisipasi:
Pertama,implementasi MEA berpotensi menjadikan Indonesia
sekadar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di kawasan ASEAN,
sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan sumber daya alam minimal, tetapi
beban defisit neraca perdagangan barang Indonesia yang saat ini paling besar diantara
negara-negara ASEAN semakin bertambah. Salah satu yang harus dilakukan
Indonesia adalah menyusun strategi industri, perdagangan dan investasi secara
terintegrasi, paling tidak dalam konteks kerjasama MEA.
Kedua,implementasi MEA akan semakin melebarkan defisit
neraca perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. Indonesia harus
segera mengimplementasikan rencana untuk membangun dan mendukung industri
transportasi yang menjadi sumber defisit terbesar. Langkah lainnya, menetapkan
sektor pariwisata sebagai prioritas dengan menyusun strategi dan kebijakan
baru, karena selama ini pariwisata telah menjadi penyumbang surplus dalam
neraca perdagangan jasa.
Ketiga,implementasi MEA akan membebaskan aliran tenaga kerja
sehingga Indonesia harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena
potensi membanjirnya TKA akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat
ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada peningkatan remitansi TKI, akibatnya
berpotensi menjadi tambahan beban bagi Indonesia dalam menjaga neraca transaksi
berjalan dan mengatasi masalah pengangguran.
Keempat, implementasi MEA akan mendorong masuknya investasi
ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. Indonesia harus bergegas menyiapkan
strategi dan kebijakan yang dapat memberi insentif bagi partner ekonominya
untuk ikut membangun industri hulu pengolah sumber daya alam, sehingga manfaat
ekonomi dari investasi lebih besar, baik dari sisi nilai tambah, penciptaan
lapangan kerja maupun terbangunnya industri hulu. Tidak ada pilihan bagi Indonesia
kecuali segera menyusun rencana strategi, serta mensosialisasikan dan
meng-implementasikan bersama dengan pelaku usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar