Selasa, 23 Desember 2014

Analisis Website


Analisis Website:
Candi Borobudur
Pada kesempatan kali ini saya akan menganalisis website sebuah monument yang terkenal di Indonesia bahkan pernah menjadi salah satu keajaiban dunia yaitu www.borobudurpark.co.id. Candi Borobudur merupakan candi terbesar di Indonesia. Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah. Selain menjadi obyek wisata yang ramai dikunjungi, Candi Borobudur juga menjadi pusat ibadat bagi penganut Buddha di Indonesia. Saat ini Borobudur ditetapkan sebagai salah satu Warisan Dunia UNESCO. Banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Candi Borobudur dan mengagumi berbagai peninggalan – peninggalan atau arca-arca yang terdapat di dalamnya. Selain itu Candi Borobudur merupakan salah satu tempat yang digunakan warga sekitar sebagai tempat mata pencaharian. Itu merupakan sedikit ulasan mengenai Candi Borobudur.
Berikut merupakan analisis yang saya lakukan pada website www.borobudurpark.co.id .
1.      Tampilan Awal
Dari segi tampilan awal, website Borobudurpark sudah sangat menarik perhatian. Dengan menampilkan berbagai gambar tentang keindahan sekitar Candi Borobudur, akan semakin menarik para wisatawan untuk berkunjung.
Bias dilihat bahwa website Borobudurpark tidak hanya menampilkan menu tentang Candi Borobudur tetapi juga sederetan candi yang berada tidak jauh dari Jawa Tengah seperti Candi Prambanan, Candi Ratu Boko.
Dalam website tersebut juga memiliki berbagai menu yang mempermudah para pembaca untuk mengetahui tentang Borobudurpark seperti :
a.       Borobudur Temple
b.      Prambanan Temple Complex
c.       Ratu Boko Palace

Selain itu juga terdapat berbagai informasi lain berupa:
a.           Staying In The Area
b.           Also In The Area
c.           Visitor Assistence Centre
d.          UNESCO Listings
e.           About Us

Jika kita membuka menu Borobudur Temple maka akan muncul tampilan sebagai berikut:
1.      Keterangan seputar Candi Borobudur,
2.      Museum Borobudur,
3.      Rute yang ada di Candi Borobudur,
4.      Berbagai kejadian yang ada di Candi Borobudur,
5.      Galeri foto, dan
6.      Lokasi dari Candi Borobudur.

Dari data tersebut sangatlah mudag bagi pengunjung website untuk mengetahui tentang Candi  Borobudur.
 



2.      Dari Segi Informasi
Dalam website tersebut memberikan berbagai macam informasi spesifik yang akan meningkatkan pengetahuan pengunjung website mengenai Candi Borobudur. Selain itu informasi yang disajikan menarik karena mengandung sejarah dan akan sangat berguna bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Candi Borobudur.

3.      Dari segi bahasa
Dalam website tersebut bahasa yang digunakan adalah bahasa inggris . walaupun demikian, hal tersebut tidak mengurangi kemenarikan dari website tersebut karean pada zaman sekarang ini, sebagian besar orang telah mengetahui bahasa inggris sebagai bahasa internasional.

Dari berbagai sudut analisa saya, saya menyimpulkan bahwa website borobudurpark sangat menarik untuk dikunjungi. Namun terdapat sedikit kekurangan yang terdapat pada kecerahan dari pada tampilan yang ada. Tetapi secara keseluruhan, website borobudurpark sangat baik.


Selasa, 16 Desember 2014

Siap Tidak Siap Harus Siap – INDONESIA MENUJU ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) 2015



Siap Tidak Siap Harus Siap – INDONESIA MENUJU ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) 2015

Tahun 2015 dapat menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Bagaimana tidak? ASEAN, organisasi regional yang menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini mengumumkan bahwa Asean Economic Community (AEC) akan diberlakukan pada tahun 2015.
Jadi sebenarnya apa itu AEC? Mengapa keberadaanya mampu mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia? Inti dari AEC adalah membuka luas pasar arus ekspor-import barang dan jasa ataupun investasi antarnegara ASEAN dimana permasalahan tarif dan non tarif sudah tidak diberlakukan kembali. Dengan diberikannya kemudahan untuk bertransaksi antar negara di Asia Tenggara, diyakini dapat menjadi peluang ataupun tantangan bagi perekenonomian masyarakat Indonesia.
Pada tahun 2015 mendatang Indonensia dihadapkan dengan adanya ASEAN Economic Community (AEC), sehingga Masyarakat Indonesia harus siap menghadapinya karena sistem pasar bebas akan memasuki Negara Indonesia, dimana persaingan bisnis bukan hanya diantara Masyarakat Indonesia tetapi juga sesama Masyarakat di wilayah ASEAN.
Asean Economic Community (AEC) merupakan kesepakatan yang dibangun oleh sepuluh negara anggota ASEAN. Terutama di bidang ekonomi dalam upaya meningkatkan perekonomian di kawasan dengan meningkatkan daya saing di kancah internasional agar ekonomi bisa tumbuh merata, juga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan yang paling utama adalah mengurangi kemiskinan.
AEC merupakan realisasi dari Visi ASEAN 2020 yaitu untuk melakukan integrasi terhadap ekonomi negara-negara ASEAN dengan membentuk pasar tunggal dan basis produksi bersama. Menurut Prof Hermanto Siregar terdapat beberapa konsep dalam AEC yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Political Security Community, dan ASEAN Socio-Culture Community.
Ketiga hal tersebut akan direalisasikan di antara negara-negara anggota ASEAN secara bertahap. Untuk langkah pertama yang akan direalisasikan adalah AEC pada 2015 mendatang, setidaknya terdapat 5 hal yang akan diimplementasikan yaitu arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan arus bebas tenaga kerja terampil.
Pada 2015 di antara 10 Negara ASEAN yang terdiri dari Indonesia, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Philipina, Laos, dan Kamboja, dan Vietnam harus membebaskan 5 hal di atas untuk menerapkan aturan dari kesepakatan tersebut. Sebelumnya pada 2004, Indonesia bersama ASEAN telah menyepakati perjanjian dengan China yang dikenal sebagai ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan perjanjian itu, negara-negara ASEAN dan China harus membebaskan barang-barang masuk.
Dalam pelaksanaan AEC, negara-negara ASEAN harus memegang teguh prinsip pasar terbuka dan ekonomi yang digerakkan oleh pasar. Dengan kata lain, konsekuensi diberlakukannya AEC adalah liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan tenaga terampil secara bebas dan tanpa hambatan tarif dan nontarif.
Rencana pemberlakuan AEC tersebut dicantumkan dalam Piagam ASEAN yang disahkan pada 2007. Pada tahun tersebut pula disepakati bahwa pencapaian AEC akan dipercepat dari 2020 menjadi 2015. Pengesahan AEC sendiri dicantumkan pada pasal 1 ayat 5 Piagam ASEAN dan diperkuat dengan pembentukan Dewan Area Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Council) yang tercantum dalam lampiran I Piagam ASEAN. Itulah dasar hukum yang mengesahkan terbentuknya ASEAN Economic Community.
Kesiapan Indonesia dalam menghadapi AEC 2015, antara peluang dan ancaman. Siap atau tidak siap sudah tidak perlu diperdebatkan lagi karena AEC sudah menjadi keputusan dan ketetapan politik yang harus dihadapi semua negara ASEAN.
Jika dilihat dari beberapa data tentang kondisi Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, dalam banyak hal Indonesia kalah oleh Thailand dan Philipina, apalagi Brunei, Malaysia, dan Singapura masih tertinggal jauh. Indonesia hanya menang dari luas negara yang begitu besar, jumlah penduduk yang banyak, dan sumberdaya yang melimpah.
Setelah diberlakukannya AEC, Indonesia akan “diserbu” barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil dari negara ASEAN lainnya sehingga hal ini akan menjadi ancaman yang serius. Atau sebaliknya Indonesia dapat “menyerbu” negara ASEAN lainnya dengan barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil sehingga hal ini menjadi peluang yang besar bagi kita.
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk menghadapi AEC 2015 di antaranya adalah :
1.                             Mengubah ‘mindset’ konsumtif menjadi produktif sehingga kita bisa mengurangi pengeluaran dan memperbesar pemasukan bagi negara kita.
2.                             Meningkatkan ‘Competitiveness’ produk yang akan berpengaruh pada ketertarikan konsumen akan produk yang kita hasilkan dengan kualitas terjamin dan harga yang terjangkau.
3.                             Diversifikasi dan peningkatan nilai tambah bahan baku dari sumber daya alam yang melimpah menjadi produk berorientasi ekspor.
4.                             ‘Competitiveness’ sumber daya manusia karena kunci dari kemajuan bangsa adalah bukan karena kekayaan alamnya melainkan SDM yang ada di dalamnya.
5.                             Mempersiapkan lulusan perguruan tinggi yang mampu berkompetisi minimal di tingkat ASEAN (kedepan semua profesi harus memiliki sertifikasi tingkat ASEAN) dan tiap tenaga profesional memiliki semangat yang tinggi.
6.                             Mengubah ‘mindset’ pegawai menjadi entrepreneur (pengusaha) sehingga diharapkan akan muncul pengusaha-pengusaha baru yang dapat menciptakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan masyarakat indonesia secara mandiri sehingga tidak bergantung terhadap negara lain.

Sepuluh pilar visi ASEAN Community tersebut adalah
1.      outward looking,
2.      economic integration,
3.      harmonious environment,
4.      prosperity,
5.      caring societies,
6.      common regional identity,
7.      living in peace,
8.      stability,
9.      democratic, dan
10.  shared cultural heritage (Kementerian Luar Negeri, 2014).
Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah inisiator dari terbentuk integrasi kawasan ASEAN. Hanya, perjalanan setiap negara dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN yang terintegrasi ini berbeda- beda. Ada negara yang dengan cepat bisa mempersiapkan diri, namun ada juga negara yang terlambat. Karakteristik, ukuran ekonomi, dan permasalahan yang dihadapi setiap negara yang berbeda juga turut memengaruhi kecepatan setiap negara dalam mempersiapkan diri menghadap MEA 2015. Singapura adalah negara ASEAN yang dapat dikatakan paling siap menghadapi MEA 2015. Meski tidak yang paling tertinggal, Indonesia masih perlu kerja ekstra untuk menghadapi MEA 2015 ini. Ini mengingat dalam beberapa hal strategis, Indonesia relatif tertinggal.
A.    Daya Saing vs Infrastruktur
Bukan bermaksud untuk mencari alasan di balik ketertinggalan tersebut, ukuran ekonomi Indonesia yang besar bisa jadi memang salah satu penyebabnya. Indonesia negara terbesar di ASEAN, baik dari segi kewilayahan, jumlah penduduk, maupun ukuran ekonominya. Sayangnya, dalam kualitas, terutama daya saing, Indonesia tertinggal cukup jauh dibanding Singapura, Malaysia, dan Thailand. Beberapa studi mengonfirmasikan terkait ketertinggalan Indonesia ini.
Studi Bank Dunia (2013) menyebutkan, daya saing produk ekspor Indonesia relatif tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain, terutama kaitannya dengan nilai tambah produk ekspor kita. Komposisi ekspor kita terbesar didominasi komoditas (resource based) dan barang primer (primary product).
Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia rentan dengan gejolak harga. Hal ini pula yang saat ini kita rasakan, ekspor kita melemah akibat pelemahan perekonomian dunia yang menyebabkan harga komoditas dunia juga ikut menurun. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, sebagian besar ekspornya didominasi oleh produk-produk yang telah disentuh teknologi (medium and high tech product). Kondisi infrastruktur kita juga relatif tertinggal. Infrastruktur logistik kita misalnya berdasarkan Logistics Performance Index (LPI) 2012 yang dikeluarkan Bank Dunia, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-59 atau jauh di bawah Singapura yang berada di puncak di antara 155 negara yang disurvei. Posisi dan daya saing industri logistik Indonesia bahkan kalah dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina dan hanya unggul terhadap Myanmar dan Kamboja. Indonesia pasar ekonomi yang besar. Kelas menengah Indonesia semakin bertambah. PDB per kapita Indonesia sudah mendekati USD5.000, yang berarti daya beli masyarakat kita yang cukup tinggi. Tingginya daya beli ini akan menjadi bumerang bagi ”neraca ekonomi” kita bila daya saing dan kesiapan infrastruktur kita tidak segera dibenahi dalam menghadapi MEA 2015 ini. Ekspor kita menjadi kurang bersaing karena nilai tambahnya rendah. Di sisi lain, Indonesia akan menjadi pasar barang dan jasa impor yang empuk, sementara nilai tambah dari barang dan jasa impor tersebut bagi kita sangat kecil. Saat ini dampak dari rendahnya daya saing kita tersebut sudah terasa. Sejak 2012 neraca perdagangan kita telah defisit. Sementara neraca jasa kita sejak dulu tidak mengalami perbaikan, dalam arti selalu defisit. Tingginya pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia dalam satu dekade ini menyebabkan demand masyarakat kita meningkat. Sayangnya, karena lemah struktur industri kita, demand masyarakat tersebut tidak bisa dipenuhi industri domestik, melainkan harus diimpor. Ketika ekspor booming, kita juga tidak bisa memaksimalkan nilai tambahnya. Ekspor komoditas dan barang primer harus diangkut melalui pelabuhan dan menggunakan kapal. Sayangnya, karena ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan dan kapal kita, terpaksa ekspor tersebut harus dilakukan di pelabuhan negara tetangga dan diangkut dengan kapal berbendera asing. Tidak hanya itu, asuransi angkutannya pun harus dengan perusahaan asuransi asing sehingga neraca jasa kita mengalami defisit. Indonesia negara dengan penduduk yang besar. Kebutuhan energinya juga besar seiring pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Pada 2012 kebutuhan minyak kita mencapai 73 juta ton, terbesar kelima di Asia. Sayangnya, karena kapasitas infrastruktur kilang minyak yang tidak cukup, setiap tahun impor BBM kita terus meningkat. Indonesia kini telah menjadi importir premium (gasoline) terbesar di dunia. Sekitar 30 persen kebutuhan BBM domestik harus dipenuhi dari impor. Negara yang memiliki infrastruktur kilang minyak diuntungkan dengan posisi Indonesia ini. Siapa itu? Salah satunya Singapura karena memiliki kilang minyak dengan kapasitas yang besar sehingga bisa mengekspor BBM-nya, termasuk ke Indonesia.
Sepertinya Indonesia harus memiliki kebijakan yang agak revolusioner untuk mengubah kondisi yang akut ini. Kebijakan fiskal kita harus berubah, dari yang terlalu costly ke operasional dan subsidi BBM untuk dialihkan ke anggaran investasi, infrastruktur, dan penguatan industri manufaktur. Tanpa langkah-langkah seperti ini, rasanya sulit kita bisa mengejar ketertinggalan daya saing kita. Di sisi lain, kebijakan sektoral juga harus memperlihatkan kesungguhannya untuk memperkuat daya saing industri nasional kita. MEA 2015 tinggal sebentar lagi. Sebenarnya sudah terlambat cukup jauh untuk mengatasi ketertinggalan dalam menghadapi MEA 2015. Namun, lebih baik terlambat dibanding kita melakukan perubahan. Mudah-mudahan, momentum Pemilu 2014 ini bisa menghasilkan pemerintahan baru yang serius dalam mengejar ketertinggalan
tersebut.
B.     MENGUNTUNGKAN ATAU DI UNTUNGKAN INDONESIA
Perjanjian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)/perdagangan bebas ASEAN-Cina terbukti merugikan Indonesia. Sepanjang 2014 saja, defisit perdagangan RI-Cina sudah mencapai US$ 1,5 miliar (16,9 triliun). Padahal, tujuan Indonesia menandatangani ACFTA adalah agar produk-produk kita bisa lebih mudah masuk ke Cina, negara berpenduduk terbanyak di dunia. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia malah menjadi pasar baru buat produk-produk Cina. Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dipercepat menjadi 2015. Namun, hanya negara-negara berdaya saing tinggi yang diuntungkan seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Guru besar ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika mengatakan, sebelum dicanangkan pada 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) menguntungkan Indonesia, Malaysia, Thailand dan Singapura. Sebab, selama 2007-2010, perdagangan Indonesia selalu surplus dan meningkat ke negara-negara ASEAN. Lihat saja, menurut Erani, pada 2010, RI surplus US$3,5 miliar. Padahal, pada 2005-2006, RI masih defisit. RI bisa surplus karena memiliki komoditas perkebunan yang besar, kelautan, elektronik, tekstil dan lain-lain. “Tapi, semua itu merupakan industri-industri yang sudah mulai terbenam
Perdagangan di sektor-sektor tersebut akan menurun secara bertahap. Jika tidak direvitalisasi, sektor-sektor tersebut akan bermasalah. “Karena itu, Indonesia bisa jadi negara yang dirugikan ke depannya setelah dicanangkan MEA pada 2015. Sebab, negara ASEAN yang lain seperti Vietnam, Filipina dan lain-lain akan menyalip Indonesia,” ujarnya. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan masalah yang mengganggu ekonomi domestik. Menurutnya, Indonesia harus memperkuat sektor pertanian dan industri. “Sebab, kedua sektor tersebut justru mengalami pelemahan dari tahun ke tahun,” ucapnya. Jika tidak mengalami perbaikan yang berarti, Indonesia akan sulit bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hingga 2015, RI memang bisa survive dalam kancah ASEAN. Tapi setelah itu, RI akan mengalami banyak masalah jika tidak mengalami perbaikan-perbaikan. “Yaitu perbaikan iklim investasi, daya saing, pembangunan infrastruktur, konsistensi kebijakan pemerintah, pembebasan lahan dan lain-lain,” urainya. Dia menegaskan, negara-negara ASEAN yang paling baik daya saing ekonominya saat ini adalah Thailand, Singapura dan Malaysia. Karena itu, negara-negara top three tersebut, paling diuntungkan dengan adanya masyarakat ekonomi ASEAN.
Indonesia berada pada level menengah bersaing dengan Filipina dan Vietnam. “Negara-negara yang paling dirugikan adalah negara-negara yang daya saingnya rendah sperti Kamboja, Laos, Brunei Darussalam dan Myanmar,” imbuh Erani. Dihubungi terpisah, Chief Economist Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan hal yang sama. Menurutnya, yang paling diuntungkan dari MEA, adalah negera-negara yang paling siap bersaing, efisien dan paling mempersiapkan diri hingga 2015. Menurutnya, jika Indonesia tidak menyiapkan tenaga ahli yang baik, sementara negara lain mengirimkan tenaga ahli ke Indonesia, MEA sangat merugikan. Sebab, Indonesia bisa jadi hanya mengirimkan tenaga yang tidak ahli sehingga dibayar murah.
Di sisi lain, negara-negara ASEAN lain bisa mendapatkan akses pasar yang jauh lebih besar sedangkan Indonesia tidak. Jika melihat persiapannya saat ini yang kurang, RI bisa dirugikan dengan terbentuknya masyarakat ekonomi ASEAN. Memang dari sisi murahnya buruh, RI memiliki comparable advantage. Tapi, itu merugikan. RI mengirim 1.000 orang, hanya dibayar dengan 10 orang tenaga ahli dari luar ke Indonesia.
Seperti pendapat Erani, Purbaya juga menegaskan, Malaysia, Thailand dan Singapura yang jelas paling diuntungkan. Singapura memiliki high-tech yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia baik eloktronik maupun produk lainnya. RI juga banyak mengipor Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Singapura. “Manajemen dan services Singapura jauh lebih baik,” timpalnya. Begitu juga dengan Malaysia. Hanya sektor Crude Palm Oil (CPO) negeri Jiran itu yang bisa dilawan Indonesia. Tapi, dari sisi value added dan high-tech Indonesia kalah termasuk elekronik.
Daya saing industri Malaysia juga jauh lebih baik karena baiknya suplai energi di negara itu. Dia menegaskan, Malaysia sudah berpikir jangka panjang sedangkan Indonesia baru mulai. Pabrik keramik RI kesusahan mendapatkan gas di dalam negeri. “Malaysia memiliki gas karena sudah kontrak jangka panjang hingga 30 tahun dari Indonesia,” tukas Purbaya. Sementara itu, Thailand, lebih siap menyerap investasi asing dibandingkan Indonesia. Thailand menjadi pusat produksi mobil Jepang, sehingga memiliki multiplier effect ke industri-industri di bawahnya. “Bahkan, pabriknya di Thailand dan hasilnya dijual ke Indonesia,” timpal Purbaya. Di atas semua itu, Purbaya menggarisbawahi, Indonesia juga bisa diuntungkan jika benar-benar bisa memperbaiki iklim investasi sebelum 2015. “Tapi, berkaca pada perdagangan bebas, pemerintah dan pengusaha kurang memaksimalkan pasar ASEAN,” paparnya.
Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN tak signifikan. Kondisinya akan sama, jika Indonesia tak hati-hati dalam mempersiapkan pencanangan MEA pada 2015. “Orang lain, asyik menggarap pasar RI, tapi Indonesia lupa menggarap pasar ASEAN. Kalau RI hanya jadi pasar ASEAN MEA hanya akan merugikan bagi Indonesia,” ungkapnya. Asal tahu saja, keputusan negara ASEAN untuk membentuk MEA dipercepat. Pada awalnya akan dimulai pada tahun 2020 menjadi 2015. Percepatan itu menggambarkan tekad ASEAN untuk segera meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing antar sesama negara anggota ASEAN untuk menghadapi persaingan global.
Dalam kerjasama JIEPA misalnya, akibat minimnya strategi pengembangan industri hulu, Indonesia justru semakin mengukuhkan posisinya hanya sebagai penyedia bahan bakubagi industri Jepang. Sebelum JIEPA diimplemetasikan, Indonesia telah menjadi negara penyuplai komoditas primer untuk industri manufaktur Jepang. Bahkan tingkat ketergantungan Jepang terhadap sejumlah komoditas tersebut sangat tinggi seperti nikel (65 persen), karet (56 persen) dan tembaga (54 persen). Dengan JIEPA, ekspor komoditas primer Indonesia ke Jepang tumbuhanmakin cepat. Pada periode 2003-2007, komposisi ekspor komoditas primer Indonesia ke Jepang mencapai 74 persen, dan meningkat menjadi 77 persen pada 2008-2012. Peningkatan ekspor komoditas primer memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, kerjasama JIEPA yang dilakukan tanpa strategi dan target yang jelas untuk mendorong industrialisasi di Indonesia akhirnya hanya mempercepat eksploitasi berbagai sumber daya alam. Indonesia semestinya mampu menyiapkan strategi dan kebijakan untuk mendorong Jepang membangun industri hulu di Indonesia sehingga memberikan manfaat ekonomi yang besar baik dari sisi nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, maupun terbangunnya industri hulu.
ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan dimulai pada tahun 2015. Jadwal implementasi ini dipercepat dari rencana semula tahun 2020. Sesuai cetak biru, Masyarakat Ekonomi ASEAN ditujukan untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal (single regional market) dan kesatuan basis produksi yang terintegrasi (regional production base). MEA akan membawa pada liberalisasi ekonomi yang semakin luas di ASEAN, ditandai dengan peredaran secara bebas tanpa hambatan baik barang, jasa, modal maupun tenaga kerja. Kesepakatan tersebut tentunya akan membuat tatanan ekonomi baru di ASEAN dan akan membuka berbagai peluang untuk memperoleh manfaat. Namun disisi sebaliknya juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Indonesia akan diuntungkan atau semakin dirugikan dengan kesepakatan dalam MEA? Mengapa menguntungkan dan faktor apa saja yang menyebabkan Indonesia berpeluang mendapat keuntungan? Apa dampak negatifnya dan bagaimana strategi untuk meminimalkan dampak negatifnya? Tentunya hal ini penting untuk dijawab sebelum Indonesia membuat berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang sampai saat ini bahkan jauh lebih agresif dibanding negara-negara lain. Data menunjukkan paska liberalisasi ASEAN dalam AFTA, ASEAN dengan China, maupun kerjasama bilateral lainnya, Indonesia mengalami banyak kerugian. Dalam kesepakatan ASEAN China FTA dan bilateral dengan Jepang misalnya, produk impor dari kedua negara tersebut segera membanjiri pasar Indonesia sehingga terjadi pelebaran defisit neraca perdagangan. Seharusnya hal tersebut dapat menjadi pengalaman berharga bagi Indonesia dalam berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi, termasuk MEA.
Pemerintah telah menyatakan bahwa Indonesia sudah 82 persen siap menghadapi MEA.
Namun, klaim persentase kesiapan tersebut ternyata hanya sebatas check list sejauh mana Indonesia telah menjalankan kesepakatan-kesepakatanMEA. Padahal untuk memenangkan persaingan di ASEAN yang makin kompetitif semestinya pemerintah menyiapkan strategi komprehensif yang menjadi agenda bersama antara pemerintah (Pusat dan Daerah) dengan dunia usaha. Negara ASEAN lain, Thailand misalnya, telah mempersiapkan strategi komprehensif untuk meraih peluang saat ASEAN menjadi basis pasar dan produksi. Namun, sampai saat ini persiapan Indonesia masih minimal. Sosialisasi dilakukan tetapi baru sekadar“apa itu MEA”, bukan tentang “strategi bersama menghadapi MEA”.
Implementasi MEA memang bukan liberalisasi ekonomi yang pertama di kawasan ASEAN. Setelah tahun 1992 ASEAN sepakat melakukan AFTA (Asean Free Trade Agreement ), ASEAN juga membuat berbagai kesepakatan dengan negara lain seperti India, Jepang dan Korea. Indonesia pun banyak melakukan liberalisasi ekonomi secara bilateral misal dengan Jepang atau Australia dan New Zealand. Meskipun implementasi MEA sebenarnya implementasi liberalisasi di tengah lingkungan ekonomi ASEAN dan ekonomi Indonesia yang sudah cukup liberal, namun CORE berkeyakinan bahwa implementasi MEA justru sangat penting bagi Indonesia sebagai momentum untuk menata ulang berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang telah disepakati, agar potensi manfaat yang diperoleh maksimal dan potensi kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Dari kajian awal ini CORE berkesimpulan paling tidak ada empat isu penting yang perlu kerja keras untuk segera diantisipasi:
Pertama,implementasi MEA berpotensi menjadikan Indonesia sekadar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan sumber daya alam minimal, tetapi beban defisit neraca perdagangan barang Indonesia yang saat ini paling besar diantara negara-negara ASEAN semakin bertambah. Salah satu yang harus dilakukan Indonesia adalah menyusun strategi industri, perdagangan dan investasi secara terintegrasi, paling tidak dalam konteks kerjasama MEA.
Kedua,implementasi MEA akan semakin melebarkan defisit neraca perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. Indonesia harus segera mengimplementasikan rencana untuk membangun dan mendukung industri transportasi yang menjadi sumber defisit terbesar. Langkah lainnya, menetapkan sektor pariwisata sebagai prioritas dengan menyusun strategi dan kebijakan baru, karena selama ini pariwisata telah menjadi penyumbang surplus dalam neraca perdagangan jasa.
Ketiga,implementasi MEA akan membebaskan aliran tenaga kerja sehingga Indonesia harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena potensi membanjirnya TKA akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada peningkatan remitansi TKI, akibatnya berpotensi menjadi tambahan beban bagi Indonesia dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran.
Keempat, implementasi MEA akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. Indonesia harus bergegas menyiapkan strategi dan kebijakan yang dapat memberi insentif bagi partner ekonominya untuk ikut membangun industri hulu pengolah sumber daya alam, sehingga manfaat ekonomi dari investasi lebih besar, baik dari sisi nilai tambah, penciptaan lapangan kerja maupun terbangunnya industri hulu. Tidak ada pilihan bagi Indonesia kecuali segera menyusun rencana strategi, serta mensosialisasikan dan meng-implementasikan bersama dengan pelaku usaha.